Rate this post

Perguruan Tinggi itu mempunyai organ of governance. Secara umum, organ tersebut adalah senat dan pimpinan perguruan tinggi. Senat, memiliki kewenangan penuh untuk mengatur akademik. Sedangkan pimpinan perguruan tinggi mempunyai kewenangan dalam melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Kedua organ ini harus saling bekerja sama.

Bagi Perguruan Tinggi Swasta (PTS), ada badan penyelenggara (yayasan). Perannya, lebih kepada memberikan kewenangan hal ihwal akademik kepada senat dan tridharma perguruan tinggi kepada pimpinan perguruan tinggi. Karena kedua organ inilah yang akan menjalankan ke mana arah dari sebuah perguruan tinggi.  Jangan sampai tumpang tindih.

Demikian disampaikan Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, Prof. Intan Ahmad, Ph.D saat menjadi pembicara pada Rapat Kerja Kopertis Wilayah X di Padang, Kamis (18/5).

Intan Ahmad mengatakan di Indonesia sesuai dengan undang-undang guru dan dosen bahwa dosen harus mempunyai ijazah magister. Tetapi, faktanya adalah masih banyak dosen yang belum memiliki latar belakang pendidikan S2. Jumlahnya mencapai ribuan.

“Seorang dosen yang sudah mengajar puluhan tahun, bagus dari segi akademik, up to date, rajin ikut seminar, membimbing mahasiswa, dan ikut training. Tetapi, masih berlatar pendidikan strata 1. Secara de jure seseorang tersebut tidak memiliki kewenangan untuk mengajar meskipun faktanya seseorang tersebut memiliki kompetensi dan keahlian di bidangnya. Lalu bagaimana solusinya?” ucap Intan Ahmad.

Dengan Recognisi Pembelajaran Lampau (RPL), kata Intan Ahmad seseorang tersebut bisa dinilai melalui proses di kampus dan diusulkan ke Kemenristekdikti untuk disetarakan. Maksudnya adalah, memang tidak memiliki gelar magister dan bisa studi lanjut ke program doktoral. Akan tetapi bisa diputuskan untuk disetarakan dengan magister dan bisa terus mengajar.

Indonesia membutuhkan tenaga pengajar profesional. Tidak hanya cakap dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki pengalaman profesional. Di Politeknik misalnya, Intan Ahmad mencontohkan banyak tenaga profesional di luar jalur akademik yang kompetensinya bisa dimanfaatkan untuk menunjang mutu pendidikan tinggi.

“Seorang pilot bisa disetarakan dengan level tertentu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) karena memiliki pengalaman profesional. Kalau menempuh jalur akademik, mungkin akan membutuhkan waktu yang lama. Sementara, kita membutuhkan tenaga pengajar yang memiliki pengalaman profesional. Untuk itu, RPL bisa dilakukan untuk merangkul sumber daya manusia yang profesional,” ujar Intan Ahmad. (HR)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *