Rate this post

Hampir 50 persen Badan Penyelenggara pendidikan mengalami perubahan. Perubahan ini sering sekali menyebabkan terjadinya konflik di PTS. Tentunya kita tidak mengharapkan hal seperti ini terjadi, ujar Silvi, Ketua Tim Evaluator Badan Penyelenggara Pendidikan saat memberikan sambutan pada kegiatan Penyesuaian Perubahan Badan Penyelenggara (Yayasan) di Kopertis Wilayah X (2/12/2016).

Ketua Tim Evaluator mengatakan ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perubahan nama yayasan. Pertama, adanya salah pengetikan ejaan saat pengusulan pendirian perguruan tinggi. Misalnya, saat pengetikan nama “Yayasan Bunda” menjadi “Yayasan Bundo”. Atau saat pengusulan, nama yayasan yang diusulkan sudah tercatat di Kementerian Hukum dan HAM. Akibatnya, nama yayasan tersebut harus diganti atau ditambahkan dengan nama daerah atau provisinsi dan harus dibuatkan Surat Keputusan (SK) yang baru. Perubahan juga bisa disebabkan karena terjadinya perubahan nama dari perkumpulan menjadi perserikatan atau alih kelola penyelenggara badan pendidikan yang belum dilaporkan ke Kemenristekdikti.

Khusus untuk alih kelola badan penyelenggara, Kemenristekdikti sejak tahun 2015 lalu telah mengeluarkan peraturan mengenai alih kekola. Untuk itu, supaya proses alih kelola legal secara hukum agar segera melaporkan kepada Kemenristekdikti. Hal ini perlu dilakukan agar bisa dilakukan pemutihan terhadap SK badan penyelenggara pendidikan yang sudah berganti nama.

Silvi memaparkan, item evaluasi yang akan diperiksa adalah sebagai berikut:

  1. Legalitas yayasan dan lahan yang digunakan (luas lahan dan kepemilikan)
  2. Aspek akademik (jumlah prodi yang diselenggarakan, apakah prodi tersebut masih diselenggarakan atau sudah tutup, jumlah dosen sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi serta jumlah tenaga kependidikan)
  3. Kepemilikan dana atas nama badan penyelenggara (yayasan)

Bagi Badan Penyelenggara Pendidikan Tinggi yang hingga saat ini masih menyewa lahan, sesuai dengan Permenristekdikti Nomor 15 tahun 2015 dibatasi hanya sampai tahun 2025. Setelah itu, Badan Penyelenggara Pendidikan harus memiliki lahan sendiri, terangnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *