Rate this post

Mana yang lebih penting serdos atau EPSBED

…………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………..

Ada satu langkah strategis yang di lakukan Dikti dengan mengaitkan antara Serdos dengan EPSBED. Bagi Perguruan Tinggi yang laporan EPSBED nya kurang dari 90 % permohonan Serdos tidak dapat diproses. Suatu langkah yang sangat ampuh bahkan lebih ampuh bila dibandingkan pada waktu perpanjangan ijin sekalipun. Laporan EPSBED Perguruan Tinggi yang kurang dari  90% biasanya dikarenakan ada beberapa Program Studi yang sudah tidak memiliki mahasiswa (tidak aktif). Biasanya Perguruan Tinggi tidak terlalu peduli apabila ada salah satu program studinya yang tidak bisa di perpanjang ijin penyelenggaraan program studinya asalkan program studi tersebut tidak di cabut ijin penyelenggaraannya.

Sesuai dengan Undang undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa paling lambat pada tahun 2015  dosen harus memiliki kualifikasi pendidikan S2 keatas, jadi bila dosen yang hanya memiliki jenjang pendidikan S1 tidak dapat di katakan dosen.

Saat ini bagi dosen dosen yang telah memenuhi syarat tertentu dapat disertifikasi (Serdos) dan pemerintah memberikan tujangan bagi dosen yang sudah memiliki sertifikasi (Serdos). Begitu pentingnya arti Serdos bagi dosen dosen sehingga membuat Serdos ini menjadi sesuatu yang di dambakan dan membuat sesuatu yang prestisius bagi yang sudah memilikinya.

Bagi Pemerintah karena selain ada uang negara yang digunakan dalam pemberian tunjangan profesi bagi dosen yang sudah di sertifikasi juga ada jaminan bahwa dosen yang sudah disertifikasi tersebut memang memiliki kualifikasi, ini berarti ada pertanggungjawaban dalam pelaksanaannya. Untuk itu pemerintah memberlakukan aturan yang sangat ketat dalam pemberian sertifikasi dosen (serdos), sehingga tidak mudah bagi semua dosen dosen dapat  memiliki Sertifikasi. Banyak aturan yang harus di penuhi dosen untuk memperoleh sertifikasi tersebut.

Salah satunya adalah sertifikasi dosen (Serdos) dapat diproses apabila perguruan Tinggi tempat dosen tersebut bertugas telah melaporkan EPSBED nya lebih dari 90 %. Seperti hal tersebut di atas. Salah satu kendala yang membuat laporan EPSBED suatu perguruan Tinggi kurang dari 90 % adalah karena ada salah satu program studinya yang tidak memiliki mahasiswa (tidak aktif). Dikti memberikan kaebijakan bagi Perguruan Tinggi yang program studinya sudah tidak aktif dapat mengusulkan permohonan untuk menonaktifkan program studi tersebut ke Dikti sehingga laporang EPSBED Perguruan tinggi tersebut dapat melebihi 90 % sehingga permohonan sertifikasi dosen dapat di proses.

Ada pertanyaan apakah  program studi yang sudah disetujui dikti untuk penonaktifannya bisa di ubah menjadi aktif kembali suatu saat nanti. Bagaimana seandainya penonaktifan program studi adalah status sementara menunggu program studi tersebut di tutup. Atau dengan kata lain bila suatu program studi yang statusnya sudah non aktif tidak dapat di aktifkan kembali.

Ini seperti buah simalakalma bagi Perguruan Tinggi yang memiliki program studi tidak aktif (tidak ada mahasiswanya) mana yang di pilih sertifikasi dosen (Serdos) atau program studi (EPSBED).

Sangat ideal sebenarnya apabila salah satu program studi pada  suatu Perguruan Tinggi yang memang sudah tidak memiliki mahasiswa lagi (tidak aktif) untuk segera di nonaktifkan atau tutup.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *